Saturday 31 December 2016

pemilihan di kota ternate

ADA CALEG, ADA IDIN


“woka-woka ma pila poga
No waje jang si no piara
Maluri dengo campaka
No waje ira si no sihata”
(Doro Bololo)

PEMILIHAN calon legislatif  tak lama lagi akan mengguncang panggung pesta demokrasi Maluku Utara. Persiapan kandidat sudah mulai terlihat dari pemasangan baliho yang terpapar di papan iklan setiap sudut Kota dan Kabupaten di Maluku Utara. Persiapan visi dan misi menjadi nyanyian khas bagi kandidat untuk menarik perhatian masyarakat sebagai bentuk kekuatan  dalam berpolitik.

Demokrasi adalah hak dimana rakyat bisa berpartisipasi dalam menentukan kebijakan. Penentuan kebijakan ini berupa perwakilan rakyat dalam legislatif dan bagi rakyat yang lain berpartisipasi untuk memilih wakil rakyat mereka. kebijakan umum ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi “kebebasan” politik. Sehingga demokrasi dengan demikian, menurut Abraham Lincon “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Definisi Lincon ini sangatlah mendasar, walau dalam perkembangan demokrasi harus dipahami dalam konteks wilayah dan negara dimana rakyat itu berada.

Maluku utara pada umumnya dan secara khusus Ternate, ketika pemilihan calon legislatif, beberapa kandidat sangat memanfaatkan kesultanan Ternate sebagai  background  untuk sarana menuju kekuasaan politik. Di mana kesultanan Ternate sendiri yang kita kenal sebagai lembaga adat atau ikon kebudayaan tidak lagi berjalan sesuai dengan fungsinya.

Idin (fatwa) sebuah keputusan Sultan sangat disakralkan, bagi sebagian rakyat Maluku utara yang bersifat mengarahkan rakyat ketika Sultan ingin memerlukan bala atau rakyat guna membahas kepentingan di dalam kadaton. Namun dalam beberapa tahun kemarin  Idin (fatwa) kehilangan kesakralannya, Idin sendiri di pakai dan dimanfaatkan oleh beberapa kandidat dan dijadikan sebagai senjata utama dan  legitimasi kekuatan dalam berpolitik. Sebuah keputusan dan harus di ikuti oleh bala atau rakyat untuk memilih kandidat yang sudah tercantum dalam  Idin,  “Ada Caleg ada  Idin”. Sedangkan dalam Idin itu sendiri dapat di tinjau kembali bila di anggap kurang efektif oleh Dewan delapan belas Kesultanan atau bobato nyagimoi se tufkange, sebagai lembaga penetapan hukum-hukum adat.

Kalimat yang tak asing dan sering di pakai “Jou kasa, ngom ka ge” (Sultan di mana, kami di situ), adalah kalimat yang seharusnya dipahami sebagai bentuk kepatuhan bala (rakyat) terhadap pemimpinnya (Sultan). Namun makna kalimat itu sudah bergeser dari makna kebudayaan menjadi makna politik, ketika kalimat itu di taruh pada background baliho para caleg yang telah mendapatkan restu dari Sultan. Di sini otomatis, secara politik bala (rakyat) yang setia kepada sultan diarahkan untuk memilih caleg tersebut. Nah, apakah ini yang di namakan dengan demokrasi?  Ketika hak rakyat telah diambil alih oleh Kesultanan itu sendiri.

No comments:

Post a Comment